Sekitar pukul 24.00 WIB, listrik di rumah padam, seperti biasa, kalau saya kehilangan frekuensi-frekuensi bunyi-bunyian di sekitar saya pasti bikin kebangun dari tidur. Bunyi-bunyian seperti suara sayup-sayup dengung compresor AC, atau suara kecil dari televisi, atau desis kipas angin seperti suara emak yang sedang mendendangkan dongeng dan bikin tidur pulas.
Jadi kalo listrik padam, berasa kehilangan bising sayup kecil itu yang sontak langsung bikin saya kebangun!
Masalahnya bukan pada bunyi-bunyian, tetapi ada fenomena mengerikan yang dialami oleh anak pertama saya, yang saat ini sudah beranjak remaja.
Kalau saya kehilangan frekuensi bunyi yang menghantarkan ketenangan dan relaksasi, sementara anak saya kehilangan hiruk pikuknya digital. Kebiasaannya tidur larut membuatnya tetap aktif di depan layar, baik itu laptop maupun handphone.
Saat listrik padam, karena saya juga terbangun, dia masuk ke kamar saya mencari power bank. Kebetulan, power bank-nya kosong, tidak ada daya tersisa. Anak saya bertanya, ‘Gadget Abah yang tidak terpakai yang mana? Bisa dipinjam dulu sampai listrik kembali menyala?’ Namun, saya tidak mengizinkannya dan berkata, ‘Sabarlah sebentar, paling lama 30 menit sampai 1 jam akan menyala kembali.
Dan benar saja, gak sampe 30 menit, mungkin sekitar 15 atau 20 menit, listrik sudah kembali normal. Kengerian yang akan saya deskripsikan dibawah ini adalah :

- Generasi pengguna gadget mengalami kegelisahan ekstrim saat screen tidak aktif, hal ini sebenernya karena memang mereka terlahir di era screen gadget yang mengiringi pertumbuhan mereka. Jadi saat screen apapun di sekitarnya tidak aktif, otaknya akan merasakan kehilangan frekuensi relaksasinya.
- Kebakaran jenggot! peribahasanya seperti itu, saat saya lontarkan kalimat “tunggu aja sebentar” remaja 17 tahun itu dengan spontan membalas “gimana atuh gak enak, ngapain atuh?”, lalu saya bilang “Baca buku aja”, hahahaha, saya tau itu bukan solusi, walaupun sudah ada emergency lamp, tetep saja buku bukan solusi untuk mengatasi SCREEN TANTRUM nya itu.
- Adiksi layar? atau kehilangan kebiasaan? saya rasa kedua-duanya bisa terjadi, karena generasi ini adalah generasi elektrik, sementara saya juga gak pernah memberikan batasan screen time, yang penting punya kesadaran yang tetep tumbuh saat makan, belajar, berbicara, berdiskusi, atau “sadar” diri kapan harus tanpa screen.
- SCREEN TANTRUM (hahaahaha, saya pakai istilah sendiri aja) ini ngeri banget!, bayangkan kalo generasi ini kehilangan koneksi internet dalam 1 pekan! Apa kalian yakin mereka akan survive? Ya pasti ada aja para survival nya, tapi inget pandemi kemarin? Generasi Millenial dan generasi sebelumnya yang jadi korban! Karena generasi ini adalah generasi outdoor, saat di tutup aksesnya untuk keluar, apa yang terjadi? 90% kematian terjadi karena kecemasan! karena stress nya yang meningkat kan?
- Kalau NEXT PLANDEMIC kemarin itu terjadi lagi dengan konsep INTERNET SHUT DOWN!? targetnya para generasi SCREEN, yang menderita SCREEN TANTRUM? 1 tahun di shut down! no internet? what will happen with them? Yakin aman? ya balik lagi sama process parenting kalian.
Saya adalah generasi yang terlahir di era berkembangnya gadget, jadi saya adalah generasi yang mengalami transisi silence dan crowded-nya teknologi, apalagi yang terlahir di kota metropolitan, saya juga pernah alamin tantrum noise, waktu itu terjadi saat saya lagi nginep di rumah teman di daerah Bantul Yogyakarta, sekitar tahun 1999, dimana di desa tempatnya tinggal itu masih jarang rumah yang punya listrik, buat ke kamar mandi aja pake obor sebagai penerangan. Dua hari pertama saya nginep, dua hari itu saya gak bisa tidur, jadi baru merem tidur setelah denger tahrim mau subuh!
Nah sekarang kebayang! kalo itu terjadi di generasi SCREEN! sekarang? Gadget problem aja sudah bikin para parents puyeng, wkwkkwkwkw, jadi gimana cerita kalo misalnya asupan itu di stop? Semoga bisa selalu menemukan ide, kemudahan serta solusi dan jalan keluar untuk setiap ujian-ujian di masa depan.
0 Comments